Selasa, 23 April 2024

Aku, Tujuh Belas Tahun

Ini adalah suara hatiku yang paling nyaring dikumandangkan. Ini bukan sekedar aksara sederhana yang ku tumpahkan dalam secarik kertas dengan tinta hitam yang melekat. Ini adalah suara hati. 

Waktu memang cepat berlalu. Namun bukan berarti hari-hari esok mudah tuk dilalui. Tidak. Bukan berarti tahun depan ada di depan mata lantas ditangkap dengan mudahnya dengan tangan kosong sehingga berada di masa depan. Bukan seperti itu. 

Yang ku maksud, kita adalah bagian dari perjalanan waktu. Kita tak tahu, akan digiring kemana nasib kita nantinya; setidaknya untuk hari esok. Kita hanya pasrah, berharap belas kasih waktu untuk kebahagiaan hidup. 

Aku benci pasrah. Karena aku masih memiliki batas kesabaran yang tak terbatas. Aku masih memiliki cita dan cinta yang ingin ku wujudkan. Setidaknya itu semua yang membuatku hidup hingga detik ini. 

Untuk itulah aksara ini hadir memberi warna hidupku yang berisikan hanya hitam dan putih. Hidupku yang selalu sama tiap harinya selama tujuh belas tahun ini. 

**Aku menemukan tulisan ini di Diary yang ku tulis saat kelas 2 SMA, tahun 2019. Diary nya masih ku simpan sampai sekarang^^

Minggu, 21 April 2024

Lampu yang Mati

Semenjak kepulanganku; kurang lebih 6 bulan lamanya. Bisa terhitung oleh jariku, aku mematikan lampu kamar sebelum tertidur. 

Aku terlalu takut melakukan itu sendirian. 

Tetapi, patah hati yang pertama mengubah segalanya. Membuatku mati rasa akan rasa takut. Satu minggu lamanya semenjak perpisahan, aku mematikan lampu kamarku. Sederhana saja, aku berharap takkan pernah terbangun dalam tidurku. 

Sialnya, pagiku selalu terbangun dalam keadaan sulit membuka mata. Sangat sulit, sampai aku mencoba tertidur kembali; berharap pagi menjadi malam selalu. 

Dua minggu setelahnya, pelan-pelan rasa takutku kembali muncul. Aku kembali menghidupkan lampu kamar. Namun jika teringat kembali, rasa sedihku menguasai seisi kamarku, semuanya terasa gelap. Maka kuputuskan mematikan lampu kamarnya. Biarlah aku tertelan gelapnya malam itu. 

Sebetulnya aku tahu percis manfaat mematikan lampu selama tertidur. Selain takut akan gelapnya, sebenarnya aku juga takut terlalu nyaman. 

Ya, aku suka tidur dalam keadaan ruang yang gelap. Hanya saja sendiri, aku tak berani. Dan aku bisa se-nyaman itu jika tidur dalam keadaan gelap. Tak kenal waktu. 

Namun sebelum keberangkatanku, aku mau memuaskan diriku. Karena aku tau setelah ini kata 'nyaman' saat tertidur takkan pernah ada lagi. Untuk itu aku sudah berani mematikan lampu kamarku. Bagiku, itu bentuk sayang kepada diriku. 

Selamat malam, Jakarta. 

Sabtu, 20 April 2024

Surat Untuk Semesta | Vol. 1

Hai semesta, maaf aku hanya kembali jika sedang tersesat. Kali ini aku kembali bukan meminta arah. Aku hanya ingin kamu merestui jalanku. Dan mendengarkan keluh kesahku. 

Kembali lagi aku akan pergi keluar rumah. Ternyata aku memang masih belum bisa berdamai. Atau mungkin aku yang belum menemukan jalannya? Aku tak tahu. 

Kali ini sedikit berbeda, aku pergi untuk pulang. Ada harapan yang aku tinggalkan disini dan akan ku wujudkan. Serta ada seseorang yang menanti kepulanganku juga; semoga. 

Kalau ditanya berat atau tidak, aku mungkin akan langsung mengucurkan airmata ku tanpa perlu menjawabnya. Aku masih tak tahu arah. Tapi percayalah, pelan namun pasti, aku bisa menemukan tujuanku. Aku tahu didepan sana ada 'rumah' yang akan jadi tempat aku berlabuh. Bagaimana jika tidak ada? Aku yakin semesta akan membuka tangannya lebar-lebar untuk ku kembali. 

Semesta, perasaan ini pernah muncul beberapa tahun yang lalu. Mungkin kamu munculkan kembali untuk membuatku teringat kalau sampai di detik ini aku masih hidup dan tetap harus berharap. Berharap pada apapun itu. Dan kamu tahu aku masih hidup untuk apa, kan? 

Cukup sederhana alasanku masih bertahan untuk hidup. Ingin rasanya aku membuktikan ke dunia jika aku akan berhasil memiliki keluarga yang utuh, harmonis dan melahirkan anak-anak yang bahagia, baik serta cerdas. 

Di dunia yang katanya tidak adil ini, aku menuntut Tuhan untuk ijinkan aku membangun, memiliki dan memelihara keluarga kecilku nanti. Aku tahu tak cukup banyak pelajaran yang diajarkan mengenai keluarga padaku. Aku akan belajar. Mengupayakan semuanya dari sekarang. Bagaimana jika aku tidak ditakdirkan untuk itu semua? Tak masalah. Setidaknya aku pernah berharap dan bermimpi. 

Aku sadar untuk bisa ada disana, butuh waktu, dan juga pengorbanan. Semoga laki-laki yang nanti bersamaku, diberi kesabaran untuk sama-sama menanti hari itu tiba. Mampu berjuang bersama dalam keadaan suka maupun duka. Serta saling menjadikan satu sama lain tujuan akhir dari hubungan asmara, dan hanya satu-satunya. 

Aku mau hubungan itu bukan hanya direstui orang tua, keluarga namun juga yang melibatkan Tuhan. Aku serahkan sepenuhnya hubungan nanti pada Tuhan. 

Menyadari penuh bahwa semua hanya titipan, people come and go, aku hanya meminta yang terbaik oleh Tuhan. Aku akan selalu mengusahakan satu nama untuk ku langitkan namanya bersama do'a-do'aku. Namun hasilnya, aku serahkan pada Tuhan dan juga pada usahaku dan usaha dia. 

Seperti harapanku, lagu ini mewakili cita-cita dan do'aku, 'Nanti Kita Pergi Yang Jauh Ya' :

Nanti kita pergi yang jauh ya? 
Hirup udara bersih sedalam-dalamnya
Kita lihat air bening mengalir dari hulu ke hilir
Penuh warna hijau dan biru di latarnya 

Nanti kita pergi yang jauh ya? 
Kita mandi matahari sepuasnya
Kita menapak ke rumput tanpa alasnya
Melihat ternak tanpa penjaganya

Nanti saat semua sudah mereda
Sudah mereda
Kita bisa tidak di rumah saja
Tidak di rumah saja

Ajaibnya semesta ada disana
Kita jaga dan temui mereka

Semoga. Semoga. Semoga, nanti bisa seperti itu♡

Senin, 15 April 2024

Biru

Aku mencintai Biru; lebih dari sekedar warna yang luas. Maknanya begitu dalam bagiku. Biru untuk laut, biru untuk langit, dan terkadang biru untuk hatiku. 

Tak perlu bersusah payah mencarinya; jika rindu aku hanya perlu menatap langit. 

Aku bergumam, "di satu atap langit yang berwarna sama, sampaikan entah bagaimana caranya bahwa aku disini merinduinya."

Biru juga telah menghias luka-lukaku menjadi indah.

Dan untuk hati yang pilu membiru, tak mengapa begitu adanya. 

Tak perlu keras paksa menyembuhkannya. Biarkan pelan-pelan warnanya memudar. 

Laut dan segalanya, dia adalah tempatku bercerita; semua ku tumpah ruahkan disana. 

Aku berkhayal, "memanggil namamu dalam kepiluan ini, tak ada yang menjawabku selain ombak yang berderu."

Aku adalah Biru. 

Akulah langit tempatmu berharap. 

Akulah lautan kemana kau selalu pulang. 

Dan akulah lautan, memeluk pantaimu erat. 

Ulang

Perihal waktu, ada beberapa bagian hidup yang ingin ku ulang kembali.  Menikmati setiap detik yang berlalu, bahagia, tidak ada suara tangis ...