matahari dan bulan saksinya; aku masih bermimpi, aku masih terperangkap pada empat belas tahun lalu, dan tetap merasa kecil.
bukankah naif meminta waktu diulang? agar ia tak pergi, agar kita tetap kita, serta agar aku ahli dalam melihat kenyataan. tapi nyatanya, aku masih terbatas oleh mimpi. aku tak mampu membelah mana nyata, mana imaji.
kau tahu, bagaimana rasanya tak tahu lagi kaki seseorang yang teramat kau sayangi melangkah dimana sekarang? sakit. sakitku begitu nyata, namun masih ku cari juga dimana ia di mimpiku.
~ ~ ~
aku tak tahu percis bagaimana kali terakhir ku melihatnya. bagaimana dan kapan itu terjadi. aku tak ingat.
aku mencoba untuk mengingat. pelan, ku coba ingat. pelan, ku coba bawa diriku ke masa lalu.
ah sial. rasanya memoriku memblokir akses ku menuju ingat. katanya, hati menolak keras meminta diingat. baiklah, mereka berdua seringkali membuatku kebingungan.
seiring ia bertambah usia, ku yakin ada satu doa yang ia titipkan untukku. dan ku rasa, diantara doaku, ada satu yang sama percis olehnya.
tentang duka itu... aku berduka karena ia pergi dalam keadaan berjalan. aku tak rela ia meninggalkanku di belakangnya. sampai di ujung jalan itu, bayangannya sudah tak bisa ku lihat lagi. kemudian aku menangis histeris. untuk pertama kalinya, dadaku nyeri hingga ke tulang belikat.
sial, barusan aku mampu mengingatnya.
~ ~ ~
dan duka itu, seperti api abadi bagiku.
tak ada yang mampu membuatnya padam. kecuali ia sendiri yang menghilangkannya.
dan entahlah. entahlah kapan itu bisa padam. aku hanya bisa mengecilkan panas baranya di dalam hatiku yang kadang malah sekujur badanku yang tersulut oleh apinya.
biarlah. terkadang api itu juga yang membuatku aman karena terjaga 24/7. api itu juga yang membuatku berani untuk terus berjalan sejauh ini.
dan duka itu... berat ku bawa sendiri di pundak.
selamanya.
Biruna~
Jakarta, 9/8/21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hai! Kasih aku kritik dan saran yah biar aku makin banyak belajar dan berkembang. Terima kasih^>^